Minggu, 28 Maret 2010

Kayu jadi pupuk?

Bila boleh memilih antara kayu dengan pupuk tentu para pemilik Kapal Pinisi akan memilih kayu. Sayangnya sejak zaman pemerintahan Suharto berakhir kedudukan kayu pun ikut lengser dan digantikan posisinya oleh pupuk. Keadaan itulah yang kini menggambarkan keadaan di Pelabuhan Sunda Kelapa

JAKARTA (27/10), Pelabuhan Sunda Kelapa dikenal sebagai tempat berlabuhannya berbagai kapal dan yang paling terkenal ialah Kapal Pinisi. Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Tak heran jika para awak Kapal Pinisi umumnya berasal dari Suku Bugis atau Suku Makassar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau . Barang angkut yang terkenal ialah kayu-kayu yang memiliki komoditi ekspor yang besar. Sayangnya akibat global warning, kayu tidak boleh sembarangan ditebang tanpa adanya izin yang berlaku. Belum lagi banyaknya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Si Penebang.

Oleh sebab itulah, jarangnya pemasokan kayu yang membuat Kapal Pinisi berpindah haluan dari mengakut kayu menjadi mengangkut pupuk. Walaupun terdengar ironis, tetapi itulah kenyataan yang kini terjadi di Pelabuhan Sunda Kelapa. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak menghentikan altivitas Kapal-kapal Pinisi tersebut.

Pelabuhan Sunda Kelapa

“Kalau zaman Suharto dulu barang yang angkut ialah kayu. Nggak ada lagi yang lain selain kayu.” tutur Tommi, seorang ABK atau Anak Buah Kapal yang baru pekerja selama dua tahun. “Kalau kapal ini mengangkut kayu penghasilan yang didapatkan lumayan besar. Orderan juga banyak. Ya dalam setahun maximal kita bisa 10 kali pulang pergi Kalimatan-Jakarta. Ya tapi kadang nggak tentu juga,” lanjut Agus, teman sesama ABK.

Kayu sangat berperan dalam pengangkutan jasa angkutan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Hilangnya kesempatan pengangkutan kayu menjadi suatu kesulitan yang tidak hanya dialami oleh pemilik Kapal Pinisi, tetapi juga bagi para Anak Buah Kapal.

“Sekarang agak sulit mencari orang yang mau menyewa kapal untuk mengangkut barang,” komentar Udin, ABK yang telah bekerja selama lima tahun. “Biar kapal ini tetap bisa berjalan sekarang yang dibawa pupuk atau ampas dari kelapa sawit. Hanya itu yang bisa diangkut dari Kalimantan. Kalau untuk angkut kayu sekarang sudah susah. Hamper nggak ada orang yang mau angkut kayu. Izinnya susah sih, dek.” jelas Udin.

Rute yang digunakan oleh Kapal Pinisi ini memang hanya seputar Jakarta dan Kalimantan saja. Di Kalimantan banyak terdapat perkebunan kelapa sawit. Tidak heran jika pupuk dan ampas kelapa sawitlah yang mengganti kedudukan kayu. Tapi sewaktu-waktu Kapal Pinisi ini juga berlayar mengelilingi Pulau Jawa, seperti ke daerah Gresik dan Surabaya.

Kehidupan yang dialami oleh para ABK tidak kalah uniknya dengan Kapal Pinnisi. Ada banyak tantangan yang mereka hadapi. “Tantangan terbesarnya gelombang besar dan badai.” kata Anton, ABK yang telah bekerja selama 4 tahun. “Dulu pernah terdampar di Jepara.

Pada hal kapal ini mau menuju Sampit, Kalimantan Tengah. Karena menerjang gelolombang besar, air bersih yang dibawa tumpah semua. Mau nggak mau kita putar haluan untuk membeli air bersih. Lalu baru kembali ke rute semula,”cerita Rusman. Keuntungan yang didapatkan para ABK ialah mereka mendapatkan asurasi jiwa dari pemilik kapal. Sedangkan masalah izin kepada syahbandar diurus oleh pemilik kapal sendiri dan ABK hanya tinggal pergi berlayar ke tempat yang dituju.

Megahnya Bangunan Tua di Pusat Kota

Melintas di pusat kota Jakarta, mata akan dimanjakan dengan megahnya bangunan-bangunan tua. Sesaat memandangan bangunan-bangunan tua tersebut terbersit perasaan yang menegangkan layaknya suasana hiruk pikuk perang pada zaman dahulu.

Tepat di Jalan Taman Fatahillah No.1, Jakarta Barat berdirilah bangunan kokoh nan megah yang dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Museum Fatahillah. Sebelum menjadi sebuah museum, bangunan tua ini digunakan sebagai kantor balai kota Batavia atau Standius pada masa pemerintahan Belanda. Gedung balai kota ini didirikan oleh Gubernur Jendral Johan Van Hoek pada tanggal 23 Januari 1807. Baru pada tanggal 30 Maret 1974 bekas kantor balai kota ini diresmikan menjadi Museum Fatahillah oleh Bapak Ali Sadikin, Gubernur Jakarta. Museum Fatahillah di kelilingi oleh bangunan-bangunan tua yang terkenal pada zaman Belanda, sehingga pengunjung dapat merasa suasana Jakarta tempo dulu.

Museum Fatahilah

Selain gedung utama yang digunakan sebagai museum, pada kompleks Museum Fatahillah ini juga terdapat taman air mancur dan ruang bawah tanah penjara laki-laki. Taman air mancur terdapat di halaman depan Museum Fatahillah, didirikan oleh Gubernur Jendral Baron Van Houve. Taman air mancur ini tidak seperti taman pada umumnya yang biasanya dikelilingi oleh taman bunga dan rindangnya pepohonan. Taman air mancur ini berada ditengah-tengah tanah lapang yang pada zaman Belanda berfungsi sebagai lapangan alun-alun tempat masyarakat berkumpul untuk menyaksikan terpinada hukuman gantung atau pancung. Air mancur yang memiliki bentuk kubah inilah yang membuat taman ini terlihat unik dan lain dari taman-taman yang lain. Air mancur pada taman ini amatlah berjasa karena dahulu menjadi satu-satunya sumber air di kawasan Batavia.

Ruang bawah tanah penjara laki-laki terdapat tepat dibawah Museum Fatahillah. Ruang yang lebih dikenal dengan penjara bawah tanah ini memiliki panjang sebesar 6 meter, lebar sebesar 3 meter, dan tinggi 160cm. Selain itu ruang ini bentuk setengah lingkaran. Hal tersebut disebabkan selain sebagai penjara bawah tanah juga difungsikan sebagai penyangga gedung. Penjara bawah tanah ini digunakan untuk menampung tahanan khusunya laki-laki sebanyak 60 hingga 70 orang. Hampir kurang lebih 80% tahanan meninggal di dalam penjara karena sesaknya tahanan dalam tiap ruang selnya. Walaupun sebenarnya semua tahanan yang dipenjara berorientasi kan hukuman mati, yakni gantung, pancung, dan siksa dalam air.

Lebih dari 500 koleksi dipamerkan di museum ini. Mulai dari koleksi periode Batavia, kisah pendiri Batavia, yakni Jan Pieterszoon Coen, meriam si Jagur yang terkenal, hingga tempat ditahanya Pangeran Diponegoro. Museum Fatahillah memiliki dua lantai. Pada lantai pertama terdapat benda-benda zaman prasejarah, seperti kapak berimbas, perhiasan-perhiasan zaman batu, hingga peradaban manusia purba. Selain itu juga terdapat 7 prasasti yang terkenal. Benda-benda yang dipamerkan ialah benda-benda asli, tetapi untuk prasasti yang dipamerkan bukanlah prasasti yang asli melainkan hanya replikanya saja. Pada Zaman Belanda lantai bawah ini digunakan sebagai ruangan untuk presiden direktur.
Pada lantai kedua terdapat benda-benda berat peninggalan Belanda, seperti meja, tempat tidur, lemari, kaca besar, hingga sebilah pedang yang biasa digunakan untuk hukuman mati. Pada masa pemerintahan Belanda lantai ini digunakan sebagai Dewan Pengadilan

Pada abad ke-19 warga Belanda di Indonesia resah karena pemerintahan Belanda sudah tidak mungkin lagi menduduki Indonesia dan harus segera kembali ke Negara asalnya. Semua barang-barang berat yang dimiliki orang-orang Belanda tidak mungkin ikut dibawa kembali sebab akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Oleh karena itu dibentuklah GEOWEKRI yakni sebuah yayasan yang beranggotakan orang kaya Belanda untuk mengumpulkan benda-benda tersebut. Dulu barang-barang tersebut disimpan di sebuah gedung yang kini lebih dikenal sebagai Museum Wayang. Lembaga Kebudayaan Indonesialah yang menyarankan untuk membuat sebuah museum untuk memamerkan barang-barang tersebut . Hingga akhirnya barang-barang tersebut diletakan di Museum Jakarta Lama yang kini berganti menjadi Museum Sejarah Jakarta atau MuseumFatahillah.

Tidak ada yang berubah dari bangunan tua ini. Sejak bangunan ini berdiri sebagai kantor balai kota Batavia atau Standius hingga kini yang telah menjadi Museum Fatahillah. Museum Fatahillah ini sendiri turut serta dalam Visit Indonesia 2008. Sehingga dari tahu ke tahun ke tahun banyak orang yang berkunjung ke Museum Fatahillah mulai dari turis lokal hingga turis asing. Pada tahun 2008 ini tercatat sebanyak 120.000 pengunjung datang berkunjung ke Museum Fatahillah.

Kalau saja semua orang turut serta dalam melestarikan peninggalan bersejarah bangsa Indonesia yang berharga serta bangga akan setiap seni dan budaya yang ada , maka Indonesia akan semakin dikenal oleh bangsa lainnya.